5 pahlawan wanita di indonesia
1. R.A. KARTINI
R.A Kartini lagir pada tanggal 21
April 1879 di kota Jepara, pahlawan nasional yang lahir dari kalangan Priayi
kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat seorang Bupati
Jepara, dan keturunannya pernah di telusuri bahwa ia adalah salah satu
keturunan dari Sri Sultan Hangkubowono IV. Anak ke – 5 dari 11 bersaudara ini
memperjuangkan pendidikan gratis di daerah Jepara dan Rembang yang dikhususkan
untuk para kaum putri yang ada pada saat itu.
R.A Kartini yang fasih berbahasa
Belanda ini sering mengeluh tentang keadaan dengan cara menulis
pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang
kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan
gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat
kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan
belajar dan oleh Sulastin Sutrisno di jadikan buku dan diterbitkan dengan judul
Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya.
Pada Tanggal 12 November 1903 R.A Kartini di nikahkan dengan Bupati Rembang K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang sudah mempunyai 2 istri sebelumnya. Pada tanggal 13 September 1904 R.A Kartini melahirkan seorang Anak dari hasil pernikahan dan 17 hari kemudian setelah itu R.A Kartini menutup usianya.
Pada Tanggal 12 November 1903 R.A Kartini di nikahkan dengan Bupati Rembang K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang sudah mempunyai 2 istri sebelumnya. Pada tanggal 13 September 1904 R.A Kartini melahirkan seorang Anak dari hasil pernikahan dan 17 hari kemudian setelah itu R.A Kartini menutup usianya.
Setelah Kartini wafat, Mr. J.H.
Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A
Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai
Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul
Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”
2. CUT MEUTIA
Tjoet Nyak Meutia (Keureutoe, Pirak,
Aceh Utara, 1870 - Alue Kurieng, Aceh, 24 Oktober 1910) adalah pahlawan
nasional Indonesia dari daerah Aceh. Ia dimakamkan di Alue Kurieng, Aceh. Ia
menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor
107/1964 pada tahun 1964.
Awalnya Tjoet Meutia melakukan perlawanan terhadap Belanda bersama suaminya Teuku Muhammad atau Teuku Tjik Tunong. Namun pada bulan Maret 1905, Tjik Tunong berhasil ditangkap Belanda dan dihukum mati di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal, Teuku Tjik Tunong berpesan kepada sahabatnya Pang Nagroe agar mau menikahi istrinya dan merawat anaknya Teuku Raja Sabi.
Tjoet Meutia kemudian menikah dengan Pang Nagroe sesuai wasiat suaminya dan bergabung dengan pasukan lainnya dibawah pimpinan Teuku Muda Gantoe. Pada suatu pertempuran dengan Korps Marechausée di Paya Cicem, Tjoet Meutia dan para wanita melarikan diri ke dalam hutan. Pang Nagroe sendiri terus melakukan perlawanan hingga akhirnya tewas pada tanggal 26 September 1910.
Tjoet Meutia kemudian bangkit dan terus melakukan perlawanan bersama sisa-sisa pasukkannya.
Ia menyerang dan merampas pos-pos
kolonial sambil bergerak menuju Gayo melewati hutan belantara. Namun pada
tanggal 24 Oktober 1910, Tjoet Meutia bersama pasukkannya bentrok dengan
Marechausée di Alue Kurieng. Dalam pertempuran itu Tjoet Njak Meutia gugur.
Martha Christina Tiahahu adalah seorang gadis dari Desa Abubu di
Pulau Nusalaut. Lahir pada tanggal 4 Januari 1800, anak dari Paulus Tiahahu,
seorang kapitan dari negeri Abubu yang juga sebagai teman perjuangan dari
Thomas Matulessy Kapitan Pattimura dalam perang Pattimura tahun 1817 melawan
Belanda.
Sejak awal perjuangan, ia selalu ikut mengambil bagian dari peperang dan jiwanya yang terkenal dengan pantang mundur. Penampilan dari pahlawan nasional ini selalu membuat rambutnya yang panjang terurai ke belakang dengan sehelai kain berang (merah) yang di lingkarkan di kepalannya.
Sejak awal perjuangan, ia selalu ikut mengambil bagian dari peperang dan jiwanya yang terkenal dengan pantang mundur. Penampilan dari pahlawan nasional ini selalu membuat rambutnya yang panjang terurai ke belakang dengan sehelai kain berang (merah) yang di lingkarkan di kepalannya.
Ia tetap mendampingi ayahnya dalam
setiap pertempuran baik di Pulau Nusalaut maupun di Pulau Saparua, tidak
mengenal siang dan malam ia selalu ada dan ikut dalam pembuatan kubu-kubu
pertahanan. Ia bukan saja mengangkat senjata, tetapi juga memberi semangat
kepada kaum wanita yang ada pada saat itu agar ikut membantu kaum pria disetiap
medan pertempuran dan berdampak pada Belanda kewalahan menghadapi kaum wanita
yang ikut berjuang.
Di Kapal Perang Eversten, Martha
Christina Tiahahu menemui ajalnya dan dengan penghormatan militer jasadnya
dilemparkan di Laut Banda menjelang tanggal 2 Januari 1818. Menghargai jasa dan
pengorbanan, Martha Christina dikukuhkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional
oleh Pemerintah Republik Indonesia.
4. MARIA WALANDA WARAMIS
Maria Walanda Maramis atau Maria
Josephine Catherine Maramis (lahir di Kema, Sulawesi Utara, 1 Desember 1872 –
meninggal di Maumbi, Sulawesi Utara, 22 April 1924 pada umur 51 tahun), atau
yang lebih dikenal sebagai Maria Walanda Maramis, adalah seorang Pahlawan
Nasional Indonesia karena usahanya untuk mengembangkan keadaan wanita di
Indonesia pada permulaan abad ke-20.
Setiap tanggal 1 Desember, masyarakat Minahasa memperingati Hari Ibu Maria Walanda Maramis, sosok yang dianggap sebagai pendobrak adat, pejuang kemajuan dan emansipasi perempuan di dunia politik dan pendidikan. Menurut Nicholas Graafland, dalam sebuah penerbitan "Nederlandsche Zendeling Genootschap" tahun 1981, Maria ditasbihkan sebagai salah satu perempuan teladan Minahasa yang memiliki "bakat istimewa untuk menangkap mengenai apapun juga dan untuk memperkembangkan daya pikirnya, bersifat mudah menampung pengetahuan sehingga lebih sering maju daripada kaum lelaki".
Setiap tanggal 1 Desember, masyarakat Minahasa memperingati Hari Ibu Maria Walanda Maramis, sosok yang dianggap sebagai pendobrak adat, pejuang kemajuan dan emansipasi perempuan di dunia politik dan pendidikan. Menurut Nicholas Graafland, dalam sebuah penerbitan "Nederlandsche Zendeling Genootschap" tahun 1981, Maria ditasbihkan sebagai salah satu perempuan teladan Minahasa yang memiliki "bakat istimewa untuk menangkap mengenai apapun juga dan untuk memperkembangkan daya pikirnya, bersifat mudah menampung pengetahuan sehingga lebih sering maju daripada kaum lelaki".
Untuk mengenang kebesaran beliau, telah dibangun Patung Walanda Maramis yang terletak di kelurahan Komo Luar Kecamatan weang sekitar 15 menit dari pusat kota Manado yang dapat ditempuh dengan angkutan darat. Di sini, pengunjung dapat mengenal sejarah perjuangan seorang wanita asal Bumi Nyiur Melambai ini. Fasilitas yang ada saat ini adalah tempat parkir dan pusat perbelanjaan.
5. CUT NYAK DHIEN
Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja'
Dhien, Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848 – Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908;
dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional
Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh.
Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia
mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim
Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak
Dhien sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan Belanda.
Sekian dari Informasi diatas, Semoga bermanfaat. Ingat hargailah Hak wanita karna antara laki-laki dan perempuan tak ada diskriminasi. tetap hargai para pahlawan-pahlawan dan pejuang bangsa Republik Indonesia.
Sekian dari Informasi diatas, Semoga bermanfaat. Ingat hargailah Hak wanita karna antara laki-laki dan perempuan tak ada diskriminasi. tetap hargai para pahlawan-pahlawan dan pejuang bangsa Republik Indonesia.
0 Response to "5 pahlawan wanita di indonesia"
Posting Komentar